Sudah kubilang, menarik diri dari masyarakat,
tertawa sendiri, menangis sendiri adalah tanda-tanda gangguan jiwa,
dan jiwaku mungkin terganggu tapi bukan salahku,, (OGIE)
Jauh setelah kisah Madness Is A Humor dan sebelum Cerita Di Ruang Bisu, scene ini mungkin adalah yang paling absurd dalam ingatanku -seingatku memang begitu. Cerita ini mungkin lebih tepat dikatakan Absurditivitas Story daripada realita, bukan karena ketidakjelasannya tapi karena kebohonganku kali ini berbuah pahit dan tragis, sebuah drama tragical history yang menyedihkan tapi juga konyol dan menghibur, ahh sudahlah baca saja ceritanya sendiri.
|
the eye see the lie |
Pagi itu seperti biasa, kabut tebal masih
menyelimuti Lembang. Matahari tampak putih pucat pasi, cahayanya berusaha
menembus kabut, mencairkan embun. Meski masih pagi tapi sudah banyak aktivitas
yang berlangsung di luar sana.
Aku sendiri sedang duduk di serambi luar loteng
rumahku memperhatikan anak-anak sekolahan dan orang orang yang berangkat kerja,
mereka berjalan berseliweran sambil menggigil kedinginan. Aku menunggu matahari
meninggi untuk kemudian menghangatkan badanku yang dalam istilah sunda disebut moyan. Ini mungkin lucu, moyan adalah
kebiasaan para aki-aki menjelang
siang hari, dan aku yang masih muda melakukannya sejak subuh sambil melamun,
bodoh dan tidak produktif bukan?.
Embun yang dingin bisa saja membuat paru-paruku
basah, tapi aku suka dingin, itu menimbulkan efek gemelutuk pada gigi dan
tulangku, bergetar seperti vibrator.
Aku merasa seperti Rambo yang sedang menembakkan machine gun-nya, menyemburkan 500 peluru per menit pada
musuh-musuhnya. Edan!
Tapi ada hal lain dalam benakku pagi itu, sesuatu
yang lebih menarik daripada menggigil kedinginan. Aku berencana untuk menyusup
ke dalam salah satu kelas di Fakultas hari ini. Menyamar sebagai mahasiswa. Aku akan mengikuti sebuah saran yang
dikatakan Rancho dalam film 3 idiots;
"Jika
kau ingin sekolah kau hanya butuh seragam, hanya seragam, masuklah ke sekolah
itu, tak akan ada yang memperhatikan orang sebanyak itu disana, jika kau
ketahuan gantilah seragammu dan pindahlah ke sekolah lain."
Aku tahu ini gila, acara televisi memang memberi
pengaruh yang buruk, tapi ini adalah rencana yang hebat. Aku tak hanya akan
tahu bagaimana bangku kuliah itu seperti apa, tapi juga akan tahu bagaimana
rasanya duduk disana. Aku bahkan tidak perlu seragam untuk menyamar, semua
mahasiswa hanya berkemeja biasa. Dan bila ketahuan aku akan mengaku saja
sebagai intel atau detektif swasta yang sedang mengawasi peredaran narkoba. Dramatis!
***
Angkot berhenti di depan sebuah gang lebar yang menuju
ke FKG Unpad tiga puluh menit menjelang pukul sembilan, tepat satu jam
perjalalanku setelah moyan pada pagi itu. Aku membayarkan ongkosku pada Sopir
angkot, melangkah keluar, menjejak trotoar lalu berjalan acuh menuju tempat
kerjaku itu. Hanya dalam beberapa menit aku sudah sampai di lantai dua FKG
tempat Apotek aku bekerja berada.
Aku segera masuk ke Apotek, baunya yang khas membuatku sedikit mual. Meski aku telah lama
bekerja disini aku sungguh belum terbiasa dengan bau obat-obatan dan alkohol
yang tajam di pagi hari sebelum semua aroma itu menguap karena sinar matahari. Suhu
terasa dingin dan suasana mencekam.
Aku berusaha menahan diri dan membiasakan indra
perasaku. Lalu kulihat etalase-etalase setinggi dada tempat menyimpan obat,
memantulkan cahaya remang-remang dan menimbulkan bayangan yang tampak seperti
fatamorgana. Di balik etalase-etalase itu duduk seorang wanita paruh baya yang
tampak acuh sambil membaca berita dalam koran. Wanita itu adalah atasanku, Mba
Sri namanya.
“Jam berapa ini?” tanyanya padaku.
Tentu saja itu adalah pertanyaan retoris yang tak
perlu aku jawab. Ia hanya bermaksud mengingatkanku bahwa aku sudah terlambat
tiga puluh menit sejak Apotek buka.
“Iya Mba, maaf tadi saya bangun kesiangan” jawabku.
“Kamu tahu? Sudah berapa kali kamu terlambat?”
tanyanya lagi.
Aku menunduk. Pertanyaan retoris lagi, setahuku aku
memang sering terlambat tapi tak pernah menghitungnya.
“Maaf Mba,” kataku.
Wajahnya memerah, matanya membesar seperti akan
keluar. Sudah jelas kali ini dia akan memarahiku habis-habisan. Tapi sudah
menjadi sifatku untuk menghindari konflik yang hanya akan menimbulkan dendam
ini.
“Maaf Mba,, maaf,,” kataku lagi sebelum dia berucap
sepatah katapun. “Saya izin ke toilet dulu, sudah dari angkot saya menahannya”
lanjutku sambil menunjukan wajah memelas.
Wajahnya semakin memerah tapi kali ini ia memejamkan
matanya. Pastinya ia sudah sangat kesal namun mencoba menahan emosinya. Alasan
mau ke toilet sungguh sangat ampuh. Seperti yang pernah ku ceritakan, atasanku
ini mengira aku mengidap beser yang kronis namun tentu saja itu hanya
perkiraannya saja dan Naudzubillah
bila itu terjadi betulan.
“Ya sudah, sana!” hardiknya.
“Makasih Mba,” kataku.
Aku langsung berjalan cepat keluar ruangan menuju
toilet di ujung koridor. Tentu saja aku tak benar-benar ingin ke toilet, aku
hanya ingin menghindari atasanku itu marah-marah padaku.
Marah, kawanku, sungguh tak akan menyelesaikan
masalah apapun. Segala nalar dan logika akan dimentahkan lagi oleh emosi
negatif yang berlebihan ini. Pikiran segera menjadi hingar-bingar oleh hasut
dan rayuan setan yang hanya akan menarik perselisihan dan kebencian. Betapapun
nanti kita utarakan alasan-alasan yang masuk akal untuk membela diri kita,
orang yang marah tak akan mau mendengarkannya, bahkan dalam beberapa kasus
orang yang marah tak akan membiarkan lawan bicaranya bicara sedikitpun.
Aku benci pada situasi seperti ini. Bukan salahku
bila aku sering terlambat, jarak dari Lembang menuju jalan Dipenegoro ini
lumayan jauh, belum lagi angkot yang suka ngetem
berlama-lama. Aku bisa saja menyalahkan diriku yang suka moyan tapi bila tak begitu aku belum berani mandi pagi, lagipula
menyalahkan diriku hanya akan memberikanku kesan malas walaupun benar begitu adanya.
Aku rela kehilangan pekerjaan ini daripada aku di marahi karena masalah sepele
seperti terlambat. “Ayolah Mba, kita ini
orang Indonesia terlambat kerja itu hal biasa” ingin kukatakan hal ini pada
Mba Sri, tapi tentu saja itu tak memenuhi etika manapun dan meskipun budaya lelet sudah mendunia, itu berlawanan
dengan moral agama yang mengajarkan kita untuk berdisiplin kerja.
Di toilet, aku memandang diriku dalam cermin. Aku merenung,
mengira-ngira apa yang akan terjadi setelah ini. Apa yang harus kulakukan? Bagaimana
aku meredakan amarahnya nanti? Bagaimana aku bisa menjalankan rencana
penyusupanku?
Bila aku menjalankan rencana penyusupanku dan aku berada lama di
dalam kelas apa yang akan dikatakan atasanku, mungkin ia akan menganggap aku
terkena diare kronis atau bisa saja ia memecatku karena kesal berlama-lama di
toilet dan sering terlambat. Ah, sudahlah jangan banyak berpikir! Lakukan saja,
serahkan semua pada Allah Yang Maha Kuasa, pikirku.
Pukul sembilan kurang lima menit, dari toilet aku
langsung kembali ke Apotek. Dengan membaca Basmalah aku masuk ke ruangan. Entah
hanya perasaanku atau memang suasana ruangan benar-benar berubah, bau
obat-obatan dan alkohol tidak lagi terlalu tajam, bau itu berganti wangi bunga
lavender yang menyegarkan, yang kutahu bau wangi itu berasal dari cairan
pembersih lantai. Suhu ruangan yang tadinya terasa dingin kini mulai hangat,
mungkin karena cahaya matahari yang menyeruak menembus kaca-kaca jendela, atau
mungkin juga karena suhu dari AC yang dinaikkan, entahlah tapi ruangan benar-benar
hangat.
Aku segera menghampiri Mba Sri yang sedang membaca
korannya lagi. Wajahnya tertutup koran sehingga aku tak tahu bagaimana
ekspresinya.
“Maaf Mba, tadi...”
“Oh ya, ngga apa-apa, duduk!” kata Mba Sri memotong
pembicaraanku sambil menurunkan koran yang menghalangi wajahnya.
Aku langsung duduk di kursi plastik di samping kanan
Mba Sri. Mba Sri langsung berbalik menghadapku. Kulihat wajahnya tampak ramah
dan tenang berbeda seratus delapan puluh derajat dengan raut wajahnya tadi yang
seakan mau meledak karena marah. Aku merasa curiga, bukan apa-apa, karena
sikapnya ini sungguh berbeda sekali dengan sikapnya selama ini padaku. Biasanya
ia selalu cuek dan sinis tapi kali ini ia ramah sekali, senyumnya tampak tak di
buat-buat.
"OGIE,,” katanya.
“Iya Mba,,” jawabku sedikit ragu.
“Kalau boleh Mba mau bertanya,, sebenarnya kamu niat
bekerja disini atau tidak sih?” tanyanya.
Mendengar itu aku mulai menebak apa isi pikirannya.
Rasa-rasanya ia akan dengan senang hati memecatku kali ini, dan itu mungkin menjelaskan
sikap ramahnya.
“Mba,, saya tahu bahwa saya seringkali lalai dari
mengerjakan tugas,,”
“Nah itu sadar,,” katanya memotong perkataanku.
“Iya tapi Mba,,”
“Ya sudah sekarang tinggal keputusanmu, mau apa?”
katanya memotong lagi perkataanku.
Seperti yang kukira, Mba Sri tampak senang sekali
ingin memecatku dan ia sudah tak sabaran. Sebenarnya ingin sekali ku ungkapkan
bahwa semua kelalaianku, mulai dari sering terlambat sampai seringkalinya
keluar masuk tempat kerja sepenuhnya bukan salahku, boleh dibilang aku ini
hanya anak magang yang tak mendapat sedikitpun perhatian dan penataran, aku
bahkan tak tahu apa sebenarnya tugasku di Apotek ini, apakah aku hanya
menungggu pelanggan datang atau apakah aku harus berkeliling mencari pelanggan
itu, aku tak tahu. Tapi sesungguhnya alasan-alasan yang ingin ku utarakan tidak
akan sedikitpun meluluhkan hati orang yang skeptis ini, maka percuma juga aku
mengutarakannya.
“Maksud Mba ?” tanyaku meski sebenarnya aku
mengerti.
“Iya, apakah kamu mau bertahan dengan segala
kelalaianmu itu atau,,”
“Oh,,” kataku memotong pembicaraannya. “Saya
mengerti Mba, jika Mba ingin memecat saya Mba tinggal bilang, tak perlu
bertele-tele seperti ini. Sikap saya selama ini sebenarnya sudah cukup memberi
alasan untuk itu” kataku tenang meski sebenarnya ada sedikit kesal.
“Baiklah, sudah diputuskan” katanya merasa lega.
***
Keesokan harinya, Aku datang kembali ke Apotek untuk
berpamitan. Saat itu Mba Sri dan pegawai lain menyambutku, ekspresi mereka
sungguh mengecewakanku, mereka tampak biasa-biasa saja dan memang aku pun
berharap demikian, hanya Mba Sri yang tampak antusias.
“Oke teman-teman, minta perhatiannya!” kata Mba Sri
lantang.
Beberapa orang yang tampak sibuk alias menyibukan
diri segera memberikan perhatiannya.
“Salah Satu teman kita, OGIE , akan mengundurkan diri
hari ini, dan saya selaku yang bertanggung jawab disini tak bisa melakukan apa
pun kecuali menyetujuinya,,” kata Mba Sri.
Sampai disini Aku merasa keberatan, sungguh
keberatan. Rupa-rupanya inilah alasan mengapa Mba Sri tak berani memecatku
secara blak-blakan, hal ini juga yang membuatnya tampak senang kemarin, ia
telah merencanakan proses pemecatan yang menyakitkan ini. Tapi mengapa dia
melakukan hal ini? (sungguh dramatis)
Bukankah lebih terhormat jika ia jujur saja dengan
mengatakan telah memecatku, mengapa harus mengatakan bahwa aku yang mengundurkan
diri? Sungguh ini adalah perilaku manusia yang belum ku mengerti. Aku sering
berbohong, tapi tak pernah dengan maksud menyakiti orang lain, bahkan semua
kebohonganku adalah hanya untuk menghibur. Tapi di mulut orang yang skeptis
ini, kebohongan adalah senjata yang menyakitkan dan mungkin pula bisa membunuh. (sungguh tragis)
Aku diam berdiri, terpaku kesal karena ucapan Mba
Sri tapi aku juga tak ingin membantahnya. Aku mencoba menahan diriku dan memang
tak ada yang bisa kulakukan, biarlah ia mengatakan apapun terhadapku karena ini
adalah hari terakhirnya kami bertemu. Kupikir-pikir aku juga tak mau bertemu dengan
orang seperti Mba Sri lagi meski aku rasa banyak juga orang seperti dia di luar
sana.
Aku mulai menyalami rekan-rekanku yang tidak terlalu
kukenal itu. Beberapa orang menunjukan simpatinya dan mendoakanku agar aku
mendapat pekerjaan yang lebih baik, Aku mengamini doa mereka meski aku tak
yakin akan kemana setelah ini. Padahal baru beberapa bulan saja aku bekerja,
pekerjaan ku yang pertama setelah lulus SMA, dan kini aku harus mencari
pekerjaan lain lagi yang tak kutahu apa itu.
Aku mulai merasakan kegagalan, aku
pernah gagal untuk kuliah, pernah gagal untuk mewujudkan beberapa rencanaku dan
aku memakluminya karena kegagalan itu adalah proses panjang pencapaian tujuan
hidupku tapi kegagalanku kali ini sungguh membingungkanku. Aku gagal dalam
sektor yang tak termasuk list tujuanku,
harusnya aku senang. (historis)
Seharusnya aku senang telah terbebas dari pekerjaan
yang membosankan. Aku tak akan lagi mencium bau yang tajam dari obat-obatan.
Tak akan ada lagi orang yang selalu sinis padaku seperti Mba Sri. Aku bisa moyan sepuasku saat pagi hari.
Ya, harusnya
aku senang, tapi aku tak bisa berbohong kalau kali ini aku merasakan
keprihatinan pada diriku sendiri. Aku sedih karena tak ada lagi alasan bagiku
untuk datang ke Fakultas ini, agar aku bisa menyamar menjadi mahasiswa, tak
akan ada lagi kesenangan mengaku-ngaku sebagai Sherlock Holmes pada
mahasiswi-mahasiswi Fakultas ini.
Namun aku juga sadar sepenuhnya bahwa setelah ini
aku masih bisa mendapatkan petualanganku, petualangan yang tak pernah
kubayangkan sebelumnya dan aku akan punya cukup waktu untuk itu. Membuat cerita hidupku sendiri.