Madness Is A Humor


Kebohongan telah berlari keliling dunia 
ketika kebenaran baru mengenakan sepatu. 
(Mark Twain)


Sepengetahuanku, aku ini hanyalah manusia biasa, hidupku normal dan baik-baik  saja. Aku lahir dari keluarga yang biasa-biasa dan mengalami masa kecil yang biasa pula. Aku adalah warga asli Indonesia yang menjunjung tinggi moral Pancasila. Aku percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, selalu rajin berdoa dan tak pernah sekalipun aku lalai dari mengerjakan salat dan berpuasa.

Jika ada seorang pemuda yang kurus dan penyendiri nampak sedang berhalusinasi maka mungkin itu aku tapi sumpah itu semua bukan karena pengaruh narkoba. Jika ada seorang yang mabuk-mabukan karena bir oplosan maka sudah pasti itu juga bukan aku. Meski aku selalu tampak teler dan melantur, kuyakinkan padamu kawan, pemuda yang mabuk itu bukanlah aku. I'm just a slave of God.

Aku menghargai hidupku maka aku tak pernah menyentuh barang-barang haram itu. Aku hidup berlandaskan agama dan tata krama. Aku adalah anak yang patuh pada petuah orang tua. Maka aku adalah anak yang rajin belajar meski tak kian pintar, berharap jadi seorang cendikia dan bergelar doktoral. Aku adalah pemuda harapan bangsa, pria idaman wanita, idola para remaja, setidaknya begitulah menurutku.

Namun rupa-rupanya semua itu tak mencegah diriku dari kegilaanku sendiri. Aku kecanduan akan hal-hal berbau imajinasi. inilah yang namanya humor kehidupan. Aku jarang bersosialisasi, sering melamun dan bicara sendiri. Bila aku bersosialisasi maka yang sering terjadi adalah aku berbohong. Aku menginterpretasikan imajinasi dan lamunanku pada teori-teori gombal dan membual. Kadang janggal kadang pula masuk akal. Kadang benar kadang pula salah. Bila benar tak sepenuhnya benar bila salah tak sepenuhnya salah. Tapi intinya adalah aku manusia biasa yang tak luput dari dosa. Dan dosaku-semoga semua orang memaafkanku dan Tuhan mengampuniku, aku hanya suka berbohong. oh God forgive me!

Aku suka berbohong, begitu juga dengan hampir semua orang. Kebohongan adalah permainan yang menyenangkan, humor bagi orang orang yang kehilangan harapan. Kebohongan yang bagus selalu bisa diterima, sebagian mempercayainya dan hampir semua orang menyukainya. Jika tidak, maka orang tak akan seringkali membaca fiksi atau menonton televisi. Lagipula kebohongan memang kadangkala berguna. Kebohongan seolah memenuhi harapan kita-lebih tepatnya aku, seperti apa yang akan kukisahkan nanti padamu. Sementara itu, aku jadi teringat pada suatu scene drama kehidupanku dimana aku berbohong tentang hal yang paling sepele, namaku.

Hari itu, ketika aku masih bekerja sebagai penjual obat dan alat alat praktikum kedokteran di Apotek salah satu fakultas UNPAD, aku sedang berjalan di koridor lalu seorang perempuan yang tak kukenal menghampiriku.

“Hey,, siapa namamu ?” tanyanya ramah.

           Mendengar itu aku kaget, aku tak menyangka akan ada yang bertanya nama padaku di tempat ini. Sudah hampir dua bulan aku bekerja saat itu dan aku juga sudah sering berjalan jalan di koridor fakultas, tapi baru kali ini ada yang bertanya namaku.

“Holmes,, Sherlock Holmes“ jawabku.

       Dia mengernyitkan dahinya tanda tak percaya. Apa ada orang Indonesia yang menyandang nama seperti itu? Sherlock Holmes, itukan nama seorang tokoh fiktif dalam novel, apa orang tuanya memang menggemari novel itu lalu memberi nama anaknya seperti nama tokoh novel di dalamnya? atu dia hanya sedang ber humor ria, pikirnya kurasa. Aku tersenyum padanya.

            “Agus,,, “ kataku.

       Kini dia membelalakan matanya, kulihat dia merasa lega lalu tersenyum juga. Dari tatapannya aku tahu bahwa dia percaya padaku, Agus memang terdengar lebih manusiawi untuk nama orang Indonesia. Ada banyak orang yang menyandang nama itu, kupikir lebih dari 1000 orang dan itu belum termasuk orang yang sudah meninggal dan yang akan lahir. Maka pantas bila aku mengaku Agus dan perempuan itu mempercayainya.

            “Ihh gak lucu tau,, ngaku-ngaku Sherlock Holmes lagi,, “ kata perempuan itu.

“(namanya juga humor),,Eh emangnya ada apa tanya namaku segala?“ kataku heran.

“Ngga,, cuma mau kenalan aja, aku sering lihat kamu disini tapi gak pernah kelihatan masuk kelas, kamu bukan mahasiswa fakultas ini kan? “ katanya.

Aku menggaruk kepala meski tak gatal. Lalu aku tersenyum tipis, tersipu malu. Sepertinya perempuan di hadapanku ini memiliki naluri seorang penyidik namun melihat dimana ia berada sekarang kupastikan ia hanya mendiagnosisku seperti orang penyakitan.

“Emh,, iya sih bukan, tapi masalah gitu yaa kalau aku sering kesini?“ tanyaku berusaha menutupi kebingunganku.

“Yaa bukan masalah juga, heran aja, kamu mahasiswa tapi gak pernah bawa buku atau tas gitu... “ katanya.

Aku memang sedang tak membawa apapun, tasku kusimpan di Apotek. Dan memang karena aku bukan mahasiswa, aku hanya penjual obat. Apotek tempatku bekerja selalu sepi dan jarang ada yang datang membeli, suasana yang membuatku bosan dan karena itu pula aku sering berjalan-jalan. Aku sering izin meninggalkan Apotek dengan alasan yang sulit di bantah-mau ke toilet. Meski itu alasan kuno, atasanku di Apotek memaklumiku karena mengira aku terserang beser.

Aku mungkin terdengar berbohong ketika aku mengatakan bahwa aku mau ke toilet pada atasanku, tapi aku memang ke toilet, dan setelah itu aku berjalan jalan di koridor. Aku hanya ingin melihat bagaimana para mahasiswa belajar di kelas saat kuliah, aku tidak bisa kuliah karena suatu alasan klasik-biaya tapi setidaknya aku harus tahu bangku kuliah itu seperti apa. Kadang kala aku berpura pura sebagai seorang mahasisiwa yang baru saja di usir dari kelas karena mengejek dosen seperti dalam film. Sepertinya selain suka berbohong aku juga berbakat menjadi gila.

“Emh,, aneh ya?” tanyaku menggoda.

“Ngga juga,, “ kata perempuan itu.

“Ya, sebenarnya aku adalah,,, “kataku. Lalu aku terdiam sesaat, menatap serius ke matanya. Perempuan itu memicingkan matanya, menunggu aku meneruskan kata kataku.

“Adalah,,,” kataku. Lalu berhenti lagi.

“Adalah apa ?” tanyanya lagi penasaran.

“Aku adalah seorang Intel. “ kataku.

Tentu saja aku bercanda,  aku meniru ucapan seorang pelawak humoris di televisi, dan dia tahu itu. Lalu perempuan itu tertawa terkekeh-kekeh. ah namanya juga humor masa gak ketawa sih,,hehe

“Eh udah dulu yah,, ketawanya lanjutin di rumah aja, aku harus pergi,, lagi sibuk “ kataku sopan.

Aku memalingkan wajahku sambil berlalu meninggalkan perempuan itu. Lebih tepatnya aku menghindarinya, kabur, aku tidak tahu harus bilang apa lagi padanya. Aku juga merasa sudah terlalu lama meninggalkan Apotek, pasti sekarang atasanku mengira aku terserang mencret.

***

Aku juga teringat pada suatu scene yang hampir serupa. Saat itu aku sedang menuju ke sebuah toko buku di kawasan Bandung Metropolitan. Aku menaiki angkot berwarna hijau jurusan Kebon Kalapa yang melaju dari stasiun Ledeng, saat itu hanya aku satu satunya penumpang dalam angkot. Mobil yang sedang melaju berhenti tiba tiba di Persimpangan Tiga di kawasan Setiabudi. Sang sopir melongok keluar jendela di pintu samping kanannya, menoleh ke belakang kemudian melambaikan tangan kanannya.

“ Ayo Bu,, ayo Bu,,, Cihampelas,,Cihampelas,, BIP,,, Kalapa !! “ teriak sang supir.

Dua orang wanita berlari ke arah angkot, yang satu seorang mahasiswi yang mengenakan jas almamater universitasnya dan yang satunya lagi wanita paruh baya yang menenteng tas belanjaannya. Mereka masuk satu per satu kedalam angkot, membungkukan punggungnya agar tidak terjedot ke atap mobil, lalu mereka duduk bersebelahan. Aku sendiri duduk di pojok kiri belakang sehingga dapat dengan jelas melihat saat mereka berlari hingga duduk di sampingku. Kemudian mobil kembali melaju.

Tak selang beberapa lama, angkot kembali berhenti. Kali ini yang hendak naik ke angkot adalah sepasang suami istri warga Arab dan kedua anaknya. Sungguh menarik melihat warga asing naik angkot, kurasa mereka sedang berlibur dan hendak belanja di Cihampelas. Cihampelas memang terkenal sebagai tempat jalan jalan dengan outlet outletnya, mulai dari pakaian hingga makanan. Sedangkan alasan mereka naik angkot aku dapat menduganya dengan tepat, mereka tak tahu jalan ke tempat tujuannya itu.

“Jiiham palasy ? “ kata lelaki arab pada sang supir dengan nada bertanya. Sopir sedikit bingung namun tetap mengerti maksud perkataannya.

Aku sendiri hampir tertawa mendengarnya mengeja kata Cihampelas. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jika dia harus mengucapkan kata Ciumbuleuit, kami saja yang orang orang lokal selalu kaceletot mengucapkannya, kadang cimuluit, kadang cumuluit dan kadang pula cimbuleuit (dengan huruf eu diucapkan seperti huruf vokal eu dalam logat sunda). Dan bahkan aku sendiri tak tau bagaimana mengucapkannya dengan benar, apalagi orang Arab itu.

 “Yes seur,, iiyes,, Cihampelas “ jawab sang supir sok pake bahasa inggris, emh dasar humoris.

Keluarga Arab itu masuk kedalam angkot, sang suami masuk terlebih dahulu lalu duduk di hadapanku diikuti oleh kedua anak anaknya yang masih kecil dan kemudian sang istri. Sekarang angkot tampak lebih penuh dengan kehadiran keluarga Arab tersebut, mereka tampak tinggi tinggi dan besar, aku menatap mereka heran, bertanya dalam hati “apa yang mereka makan ya?” . Sang suami menatapku dan tersenyum ramah.

 “Assalamualaikum,,, “ sapanya.

“Wa‘alaikumusssalam warohmatullahi wabarokatuh..” jawabku fasih.

Sang suami agak terkejut mendengar jawaban salamku, mungkin ia tak menyangka bahwa orang Indonesia pun bisa menjawab salam dengan benar. Kebanyakan orang Indonesia menjawab salam dengan ucapan “wa’alaikumsalam” -tidak terlalu salah juga sebenarnya, tapi aku tahu bahwa menjawab salam yang lebih tepat adalah dengan ucapan “wa’alaikumussalam”. Dan dari keterkejutannya aku tahu bahwa jawaban salamku sudah benar.

“Apa anda bisa bahasa Arab ? ” tanyanya dalam bahasa Indonesia logat Arab.

“Qolillun,, “ jawabku sekenanya.

“Alhamdulilllah,, “ serunya sambil mengangkat kedua tangan.

“Alhamdulillah,,” kataku juga.

Lelaki Arab itu kemudian berbincang bincang dalam bahasa Arab kepadaku. Sejujurnya aku tak bisa bahasa Arab, dan aku tak mengerti apa yang dibicarakannya. Namun aku tetap tersenyum kepadanya dengan mengangguk-anggukan kepalaku seolah aku mengerti. Beruntung ketika itu sang istri memanggilnya, lalu dia berbalik menghadap istrinya dan merekapun mengobrol sebentar.

            “Maasmuk ? ” kata lelaki Arab itu tiba-tiba.

            Aku tercengang tak mendengar jelas apa yang dikatakannya. lalu aku mengisyaratkan bahwa aku tak bisa mendengarnya.

            “Maasmuk ? “ katanya lagi.

            “Abdurrohman,, “ kataku.

            Sebenarnya aku sedang melamunkan bahwa mungkin Abdurrohman adalah nama lelaki Arab itu. Ketika dia bertanya, aku mengucapkan kata Abdurrohman begitu saja. Aku tidak tahu bahwa sebenarnya dia sedang bertanya namaku.

            “Nama yang bagus “ katanya.

         Aku tercengang lagi, tapi kali ini aku mendengarnya dengan jelas. Dia menggunakan bahasa Indonesia, dan dia mengatakan bahwa namaku bagus. Ketika itu aku sadar bahwa kata maasmuk serupa dengan kata ismuk  yang berarti dia bertanya padaku siapa namamu dan aku menjawab Abdurrohman. Sejak kapan aku bernama Abdurrahman, pikirku.

            “Abdurrohman,,” katanya memanggilku lagi.

            “Na’am, panggil saja Maman “ kataku.

            Aku sudah terlanjur berbohong, lagipula Abdurrohman memang nama yang bagus. Aku senang jika itu memang benar namaku tapi ada juga sedikit sesal di hatiku. Untuk menutupi penyesalan itu aku memintanya memanggilku Maman, itu lebih terdengar sangat Indonesiawi dan humoris tentu saja, hehe.

            Aku beruntung, sebelum kami berbincang lagi mobil berhenti di  kiri jalan Cihampelas. Sang sopir menoleh ke belakang lalu menatap kearah keluarga arab itu.

            “This is Cihampelas seur,,, geus nepi yeuh“ teriak sang sopir dengan bahasa inggris campur sunda.

       “Baala,,, “ balas lelaki Arab itu pada supir. Kemudian  di menatapku, tersenyum, mengangguk mengisyaratkan minta izin. Aku membalas senyumnya, mempersilakannya. Akhirnya  mereka pun turun dari mobil .

            “Wassalam” katanya di sebrang jalan.

        Angkot kembali melaju sehingga mereka ada di belakangku. Aku melihatnya melambaikan tangan padaku dan aku hanya menganggguk dengan senyum tipis. Ada rasa bersalah ketika itu tapi kupikir aku memang sudah sering berbohong sesering menyebutkan namaku.


Bila anda tidak ketawa, saya memang sedang tidak melucu, saya cuma mau minta maaf!!
sebaiknya anda baca ini saja.


Author by OGIE



SHARE

Suginugi

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar