Surabian Night

Menarik diri dari masyarakat tanpa berinteraksi, 
menangis, tersenyum-senyum dan tertawa sendiri
adalah tanda-tanda gangguan jiwa. (anonim)

Malam ini, Lembang begitu cerah, sepotong rembulan berwarna perak menggantung di awang. Beberapa konstilasi bintang ikut memeriahkan langit malam, cahayanya berpijar kelap-kelip dalam keberaturan. Aku dapat melihat bintang bintang itu berhamburan di langit seperti taburan debu kapur pada blackboard yang baru saja dilap seorang dosen dengan kain basah, terlihat jelas, tampak putih berkilap dan banyak. Sedangkan rembulan itu mungkin tampak seperti kepala dosen yang botak di bagian belakangnya dan ia sedang menghadap pada blackboard itu.

cerita, cerpen, kisah, kisah nyata     Gambaranku mungkin agak sedikit memaksa tapi aku memang sedang melamunkan keadaanku bila kuliah. Aku hanya bisa melamunkannya karena aku tidak benar benar kuliah. Bila aku bercerita pada orang lain bahwa aku pernah kuliah di UNPAD atau kuliah di UPI, itu bohong, kalau berpura pura menjadi mahasiswanya, itu baru benar. Kepura-puraanku sebagai mahasiswa juga adalah akibat dari seringnya aku melamun seperti ini. Bukti bahwa imajinasiku terinterpretasikan pada teori dan kobohongan.

     Jam di Hpku baru menunjukan pukul sembilan tapi malam semakin senyap. Para penduduk lain mungkin sudah tertidur pulas di atas kasur kapuknya dan menutupi tubuh mereka dengan selimut tebal. Hawa dingin mulai terasa, segelas bajigur dan sepiring surabi oncom yang menemaniku juga telah menjadi dingin sejak tadi. Namun aku masih betah, dengan langit yang secerah ini aku perkirakan kabut baru akan menutupi daerah ini pada pukul 3 dini hari, maka walaupun dingin aku tak ingin melewatkan malam ini begitu saja.

     Aku sedang berada di loteng rumahku, duduk termenung di serambi luarnya yang menghadap ke timur. Di tempat inilah biasanya aku sering moyan, melamun, membaca, dan melakukan kegiatan tak produktif lainnya. Bila pagi tiba, disini aku bisa melihat matahari terbit dan bila malamnya secerah malam ini, aku akan menatapi langit seperti yang sedang kulakukan ditemani camilan favoritku, surabi dan bajigur. Tidak selalu, tapi sering juga.

     Sebenarnya aku tak mau merusak keindahan malam ini dengan membayangkan bahwa rembulan seperti kepala botak seorang dosen tapi aku sendiri tak berdaya melawan kemampuan imajinasiku yang selalu ngawur tapi tetap menghibur, kadang membuatku terharu dan kadang tertawa juga. Aku tak bisa menahan imajinasi ini yang berlari-lari, melompat-lompat dan kadang bisa terbang. Akibatnya aku pasrah saja pada kekacauan pikiranku dan mulai menikmatinya.

     Sekarang aku mulai membayangkan bahwa dosen itu sedang memberikan test pada para mahasiswanya, ia menggambar bentuk layangan seperti rasi bintang biduk selatan di blackboardnya yang sebenarnya adalah bagian langit yang sedang kutatapi.

Oke rekan semua, cobalah hitung luas layang layang ini, terdapat 2 pasang segitiga dengan ukuran yang berbeda, alas dan tingginya dapat kalian lihat dari keterangan yang telah saya tulis, waktu kalian 3 menit untuk menghitungnya, dimulai dari,, sekarang ! “ kata dosen itu.

     Sekarang aku dapat melihat rasi bintang pisces seperti angka 6 dan 9 yang merupakan ukuran tinggi kedua pasang segitiga itu yang bila dijumlahkan akan didapat ukuran panjang layang layang. Sedangkan ukuran lebar layang layang itu adalah 7, terlihat dari bentuk rasi bintang scorpio.

Setelah 3 menit berlalu.

Oke,, waktu habis,, waktu kalian habis “ kata dosen itu

     Suasana begitu hening, begitu sepi. Bulu kudukku merinding. Aku mulai melirik ke kanan dan ke kiri, menatap dosen itu lagi.

Ada yang berani menjawabnya ? ayo tunjuk tangan !” lanjut dosen.

     Tapi tak ada siapapun disini kecuali aku. Apakah aku harus menjawabnya ? Andai saja aku masih ingat rumus phytagoras tentu akan kuacungkan jariku sambil melompat, berdiri dari tempat dudukku lalu menjawabnya. Hey! inikan cuma lamunanku, lagipula pelajaran anak SD seperti itu tak mungkin diajarkan pada mahasiswa, iyakan?

     Mau bagaimana lagi, aku memang belum pernah kuliah, tak tahu apa yang diajarkan disana. Tapi aku bersyukur setidaknya aku masih bisa hidup untuk menjalani hal lain yang mungkin lebih menyenangkan. Aku melahap habis surabi terakhirku, lalu menenggak bajigur hingga tetesan terakhir. Lalu kutatap bulan lagi, ia menggantung semakin tinggi, bintang bintang semakin terang dan pikiranku semakin jauh melayang.
     Kini aku membayangkan diriku sebagai serigala yang terpisah dari kawanannya. Sendirian aku di bawah rembulan, meraung-raung dalam kesunyian malam. Aku melolong memanggil kawananku berharap mereka mendengarkan, aku melolong lagi hingga serak, aku melolong lagi hingga habis suaraku. Ketika aku hampir putus asa, aku mendengar suara. Tapi itu bukan suara serigala, itu suara perempuan.

Itu suara perempuan!

     Tiba tiba saja lamunanku buyar oleh suara perempuan yang tertawa, suara itu menakutkan dan membuatku merinding. Bulu kudukku berdiri, aku menoleh kekanan-kiriku, tak ada siapapun. Aku menoleh ke belakang, tak ada orang. Lalu suara itu terdengar lagi, lebih jelas, lebih keras. Suara perempuan itu begitu menakutkan, seram. Itu suara kuntilanak.

Astagfirullah “ kataku kaget.

     Tak ada kuntilanak, dan memang tidak ada kuntilanak kecuali hanya dalam film, suara itu adalah bunyi rington telepon di Hpku. Sial, siapa yang menelponku malam-malam begini, pikirku.

Aku lalu mengangkat telepon itu yang ternyata berasal dari temanku, Abdul Ghofur.

Haloo,, pur ?” kataku.

Assalamu’alaikum, kasep” salamnya.

     Abdul Ghofur adalah teman santriku dulu di Pondok Al Barokah, Ia selalu menyebutku kasep, bukan karena wajahku tampan, bukan juga karena wajahnya jelek meski jauh dari harapan. Itu karena waktu di Pondok aku pernah kasepak kaki kuda, sejak saat itu dia mengolok-ngolokku dengan kata kasep. Dia memang pandai mengejek.

Wa’alaikumussalam, ada apa Abdul? Malam-malam begini kau telepon aku?” kataku.

Kau lagi nganggur kan? Butuh kerjaan gak?” katanya.

Kerja apa dulu brow, kalau cuma jadi kuli lagi aku tak mau?” kataku.

Ini bisnis bung, kau mau bisnis kan?” katanya.

Wuihh,, bisnis apa nih? Sejak kapan kau jadi Bisnismen?” kataku heran.

Ah jangan Bisnismen lah, terlalu keren, sebut aja Juragan!” katanya sok merendah.

Hah Juragan,, Juragan apa?” kataku semakin penasaran.

Bakso,, Juragan bakso.” Katanya bangga.

Kau mau aku dagang bakso,,” kataku.

Iya, aku lagi buka cabang, tenang ngga dorong grobak kok” katanya.

Bolehlah lah kalo memang jualan di kios mah” kataku.

Bener mau? Aku serius nih” katanya.

Iya bolehlah, yang penting halal” kataku.

Oke kalo gitu aku sms kan alamatnya, besok kau datanglah kesana, aku jemput” katanya lalu menutup telepon.

     Waktu yang pass, aku memang sedang butuh pekerjaan. Tidak apa-apa lah berjualan, Nabi sendiri saja berdagang. Sepertinya aku harus berterima kasih pada Abdul temanku itu, meski sering mengejek ternyata dia baik hati.

     Tiba tiba hpku berbunyi lagi tapi bukan suara kuntilanak. Kali ini suara sms yang masuk. Kubuka, lalu sebuah alamat dengan huruf besar semua muncul.

DESA TANDAM , KOMPLEK PASAR 6 JAWA

BINJAI UTARA – MEDAN.

     Aku tercengang, kaget, tak percaya dengan apa yang kubaca. Aku lemas tak berdaya, ini lebih mengerikan dari suara kuntilanak tadi, tapi kali ini aku tidak takut justru aku ingin tertawa. Aku benar benar dikerjainya, dia menawariku pekerjaan jadi tukang bakso di Medan. Gila! Aku sungguh tak percaya.

Author by OGIE

SHARE

Suginugi

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar